BISNIS1.COM - ISTANBUL. Nasib ekonomi Turki di ujung tanduk. Pelemahan mata uang lira telah menyeret negara tersebut dalam krisis keuangan. Bukan tak mungkin, bila tak ada langkah signifikan Turki akan menghadapi krisis ekonomi lebih besar lagi.
Jumat (10/8), kurs lira jatuh hingga 15,88% ke level 6,4323 per dollar AS. Tanpa langkah darurat, lira akan makin limbung. Seberapa dalam lira akan jatuh lagi?
Per Hammarlund, Chief Emerging Market Strategist SEB SE di Stockholm memperkirakan, kurs lira akan terperosok lagi ke level 7,50-8,00 per dollar AS pada minggu depan. "Kecuali pihak berwenang Turki mengambil langkah-langkah radikal untuk membendung jatuhnya lira," ujarnya kepada Bloomberg.
Andai lira makin tak terkendali, efek dominonya akan merembet ke pasar keuangan global. Constance Hunter, Kepala Ekonom KPMG di New York mengatakan, gejolak di pasar keuangan Turki akan memiliki efek penularan pada pasar keuangan global di minggu-minggu yang akan datang.
Jumat (10/), efek krisis Turki sudah mulai merembet ke bursa saham dunia. Aksi jual melanda bursa saham global, termasuk di bursa Wall Street. Indeks The MSCI All-Country yang merekam indeks saham di 47 negara turun 1,22% pada penutupan perdagangan akhir pekan ini.
Namun, Hunter mengingatkan, dampak negatif gejolak keuangan Turki terhadap pasar global dan negara berkembang belum selesai. Sebab, bank-bank Eropa banyak memiliki aset di Turki. "Masalah di Turki adalah fundamental, mengambil terlalu banyak utang dalam denominasi dollar," ulas Hunter seperti dilansir Bloomberg.
Setali tiga uang, menurut Capital Economics, bila lira kian terpuruk akan berisiko memberi tekanan lebih lanjut pada sektor perbankan Turki karena sepertiga dari pinjaman bank-bank negara tersebut dalam mata uang asing.
"Jika beberapa kerentanan ini mengkristal, mereka dapat mengubah perekonomian menjadi krisis besar," kata ekonom Capital Economics Yasemin Engin seperti dikutip dari channelnewsasia.com.
Sementara itu, bank investasi AS, Goldman Sachs juga mengkhawatirkan kalau lira terus menurun hingga menembus level 7,1 per dollar AS, itu akan mengikis permodalan bank-bank Turki.
Celakanya, dalam kondisi krisis mata uang ini, Bank Sentral Turki yang harusnya bertugas mengendalikan lira, tidak bisa berbuat banyak. Bank sentral tak bisa bertugas secara independen karena di bawah pengaruh Presiden Turki Tayyip Erdogan.
Erdogan selama ini terang-terangan menginginkan tingkat suku bunga tendah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Turki. Padahal, inflasi Turki sudah melejit tinggi yakni mencapai 15,85% per Juli 2018.
"Penurunan dalam mata uang selama beberapa minggu terakhir sekarang pada skala yang, di masa lalu, harusnya mendorong bank sentral untuk menaikkan suku bunga secara agresif," kata William Jackson, analis Capital Economics dalam sebuah catatan kepada klien seperti dilansir Reuters.
Nyatanya, Bank Sentral Turki belum banyak merespons kejatuhan lira. Bank sentral hanya mengubah aturan cadangan untuk meningkatkan likuiditas valuta asing bank. Namun tidak cukup untuk menopang lira.
Nasi telah menjadi bubur. Tak banyak langkah darurat yang bisa dilakukan Turki untuk mengendalikan lira.
Pilihan kebijakan darurat tersebut adalah kontrol modal, meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF), atau membiarkan Bank Sentral Turki menaikkan suku bunga.
Pilihan yang tak mudah bagi Erdogan mengingat gengsinya yang tinggi. Apalagi kalau sampai mengundang IMF. Sebab, salah satu prestasi membanggakan Erdogan adalah melunasi utang Turki ke IMF pada tahun 2013 silam.
Mungkin saja Erdogan akan menelan harga dirinya dan mengizinkan bank sentral mengerek suku bunga darurat. Langkah kenaikan bunga darurat ini terakhir kali dilakukan bank sentral pada 23 Mei 2018 lalu saat Erdogan belum terpilih lagi sebagai Presiden Turki dengan kekuasaan lebih besar.
"Erdogan itu pragmatis. Dan jika situasinya terus memburuk dan depresiasi lira dan inflasi tinggi memiliki dampak yang terlalu besar pada situasi ekonomi, pada akhirnya ia akan menyerah," kata Nora Neuteboom, ekonom ABN Amro seperti dilansir dari channelnewsasia.com.