Menimbang instrumen ideal di tengah gejolak pasar dan kenaikan suku bunga BI Investasi

Menimbang instrumen ideal di tengah gejolak pasar dan kenaikan suku bunga BI

Terakhir diperbaharui: 18 Agustus 2018

BISNIS1.COM - JAKARTA. Peluang berinvestasi tak lantas tertutup hanya karena adanya gejolak di pasar saham dan obligasi. Beberapa instrumen investasi nyatanya masih memiliki potensi menjanjikan bagi investor, terlebih lagi di saat suku bunga acuan BI kembali naik.

Perencana Keuangan Oneshildt Financial Planning, Budi Raharjo menjelaskan, Savings Bond Ritel seri SBR004 dapat menjadi pilihan alternatif yang menarik bagi investor untuk saat ini. Dengan kupon sebesar 8,05%, instrumen bertenor 2 tahun ini memiliki potensi keuntungan yang lebih baik ketimbang deposito dan bahkan Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun.


“Apalagi suku bunga acuan BI masih bisa naik dan SBR004 juga punya kupon minimum sehingga tidak menurunkan keuntungan,” sebut Budi, Kamis (16/8) kemarin.

Kendati begitu, investor perlu memahami risiko likuiditas yang dimiliki oleh SBR004. Sebab, instrumen ini tidak diperdagangkan di pasar sekunder sehingga investor baru bisa mencairkan dananya ketika waktu jatuh tempo atau saat periode early redemption.

Maka dari itu, Budi menyarankan agar investor yang membeli SBR004 harus memiliki dana yang bersifat menganggur dan memastikan dana tersebut benar-benar terpakai dalam dua tahun ke depan.

Di samping SBR004, reksadana pasar uang juga bisa dimanfaatkan oleh investor ketika pasar kurang stabil dan posisi suku bunga acuan BI tergolong tinggi. Reksadana ini terbukti memberikan imbal hasil yang positif di saat reksadana lainnya mengalami koreksi akibat sentimen pelemahan pasar.

Ini terlihat dari pertumbuhan kinerja rata-rata reksadana pasar uang yang tercermin lewat Infovesta Money Market Fund Index sebesar 2,28% (ytd) per Juli 2018.

Menurut Budi, reksadana pasar uang memang diuntungkan berkat tren kenaikan suku bunga acuan BI. Instrumen ini pun cocok dimiliki investor yang ingin mengamankan dananya dari risiko penurunan pasar mengingat likuiditasnya tergolong mumpuni. “Reksadana ini menghindarkan investor dari sentimen yang sifatnya spekulatif,” tambahnya.

Hanya saja, Indra M. Firmansyah, Director & Head of Investment Pinnacle Investment mengingatkan, investor perlu mencermati isi portofolio produk reksadana pasar uang yang akan dipilihnya, apakah lebih banyak berisi efek berupa obligasi bertenor kurang dari satu tahun atau deposito. “Hal tersebut penting karena bisa mempengaruhi likuiditasnya,” kata dia, kemarin.

Reksadana pasar uang yang banyak berinvestasi di deposito cenderung lebih likuid, namun potensi imbal hasilnya sedikit di bawah reksadana pasar uang yang mayoritas berisi obligasi kurang dari satu tahun. Begitu pula sebaliknya.

Di luar SBR004 dan reksadana pasar uang, deposito sebenarnya juga masih menjadi pilihan menarik di saat pasar lesu dan tren suku bunga acuan naik. Namun, perlu diingat bila berinvestasi deposito secara langsung maka pajak yang dibayar oleh investor adalah pajak normal sebesar 20%. “Jika investasi di reksadana pasar uang, pajak yang dikenakan hanya 5%,” imbuh Indra.

Sementara itu, Budi mengimbau agar investor tetap melakukan diversifikasi bahkan untuk kebutuhan jangka pendek sekalipun. Dalam hal ini, jika investor memiliki dana berjumlah tertentu untuk keperluan satu tahun ke depan, investor dapat menyebarnya ke tabungan biasa, reksadana pasar uang, dan deposito.

Sebab, ketiga instrumen jangka pendek tersebut sama-sama memiliki plus-minus tersendiri yang bisa saling melengkapi, sehingga bisa meminimalisir risiko investor. “Tabungan biasa tetap perlu karena itu bisa dicairkan kapan saja,” kata Budi memberi contoh.

Sumber: kontan.co.id