Jakarta - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kembali mendapatkan pekerjaan rumah untuk mengembalikan kestabilan nilai tukar Rupiah. Dolar AS kini kembali tembus ke level Rp 14.000.
Padahal Bank Indonesia (BI) telah menaikan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebanyak 2 kali jadi 4,75%. BI bahkan berencana untuk kembali menaikkan suku bunga acuan.
Menurut Analis Senior dari PT Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada, kenaikan suku bunga acuan memang menjadi salah satu senjata untuk meredam penguatan dolar AS. Namun kebijakan ini memiliki efek samping negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
>
"Menaikkan suku bunga hanya obat sesaat, karena kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi," terangnya kepada
detikFinance, Minggu (24/6/2018).
Kenaikan suku bunga acuan akan memicu kenaikan suku bunga kredit perbankan. Sehingga dikhawatirkan penyaluran kredit akan melambat, peredaran uang akan berkurang.
Reza menilai seharusnya kebijakan moneter diiringi dengan kebijakan fiskal. Pemerintah harus menjaga indikator-indikator makro ekonomi seperti inflasi maupun neraca perdagangan.
BPS sendiri mencatat, pada April 2018 defisit neraca dagang RI mencapai US$ 1,63 miliar. Ekspor tercatat US$ 14,47 miliar, sementara impornya US$ 16,09 miliar.
Besarnya impor membuat permintaan atas dolar AS di dalam negeri juga besar. Hal itu turut membebani pergerakan. nilai tukar Rupiah.
"Kunci nya kan di pemerintah bagaimana bisa membuat ekonomi Indonesia makin membaik, sehingga kepercayaan investor meningkat. Hingga membuat industri bisa mandiri dan tidak ketergantungan dengan impor," tambahnya. (dna/dna)