BISNIS1.COM - Dana darurat. Jessica Florensia tahu arti dari dana darurat. Yakni, dana yang digunakan untuk kebutuhan darurat atawa mendesak.
Meski begitu, perempuan 27 tahun yang sudah menikah ini tidak punya dana darurat yang biasa mengendap di aset yang likuid, seperti tabungan dan reksadana pasar uang. Kalau ada keperluan yang urgen, Jessica mengandalkan pinjaman koperasi di kantornya.
Maklum, karyawan di sebuah perusahaan di Tangerang ini menjadi anggota koperasi kantor sejak 2014 dengan iuran mencapai Rp 500.000 per bulan. “Kalau sewaktu-waktu perlu dana darurat, bisa pinjam koperasi kantor,” kata dia.
Tentu, bukan cuma keluarga Jessica yang tidak memiliki pos dana darurat. Banyak keluarga muda dari generasi milenial, yang lahir awal 1980 hingga pertengahan 1990, yang tak menghimpun dana darurat di aset yang likuid yang terpisah dari dana operasional.
Bahkan, menurut Andreas Freddy Pieloor, Konselor Keuangan dan Keluarga MoneynLove Financial Planning & Consultant, bukan cuma kaum milenial, generasi lain juga banyak yang enggak punya dana darurat. Ini kerap terjadi pada mereka yang belum punya kesadaran menabung dan investasi.
Seharusnya, dari awal memiliki penghasilan, generasi milenial sudah harus mencicil menabung untuk mengisi pos dana darurat. Angka idealnya adalah 6 kali hingga 12 kali dari pengeluaran bulanan mereka.
Tidak punya darurat adalah satu dari empat kesalahan generasi milenial dalam mengatur keuangan. Alexa von Tobel, penulis buku Financially Fearless, menyebutkan, mengutip rilis Bank DBS Indonesia, ada tiga pokok masalah lain yang sering kaum milenial lakukan dalam mengatur keuangan.
Yaitu: pengeluaran berlebih untuk sewa tempat tinggal, utang kartu kredit yang berlebihan, dan boros mengalokasikan dana untuk urusan percintaan.
Kesalahan-kesalahan itu, menurut Budi Raharjo, Perencana Keuangan OneShildt Personal Financial Planning, lantaran generasi milenial adalah kaum yang memiliki akses paling banyak terhadap pilihan gaya hidup. Mulai yang sederhana hingga nyaman dan mewah. “Kemudahan, kecepatan, serta akses menjadi ciri khas dari generasi ini,” kata Budi.
Untuk generasi milenial yang hidup di perkotaan, tentu pilihan gaya hidup yang beragam tersebut menjadikan mereka harus cermat dan disiplin dalam membuat keputusan keuangannya. Tanpa perencanaan yang baik, bukan tidak mungkin kesalahan-kesalahan dalam mengatur keuangan bisa terjadi.
Tak hanya menimpa kaum milenial, juga generasi lain.
Mengejar status
Apalagi saat ini, Budi mengungkapkan, masyarakat kita lebih mengutamakan kegiatan bersenang-senang (leisure) seperti jalan-jalan dibanding menabung dan berinvestasi untuk kebutuhan dasar membeli aset semisal rumah tinggal.
Sebagai akibatnya, demi mengejar status, generasi milenial lebih memilih hunian sewa yang dekat aksesnya dengan tempat kerja mereka. Tidak ada yang salah, sebetulnya.
Tapi ujungnya, pengeluaran jadi berlebihan bila mencari tempat tinggal dekat lokasi kerja, terlebih bergaya mewah cuma dengan alasan kenyamanan.
Semestinya, pengeluaran untuk sewa tempat tinggal, Budi menyatakan, tidak lebih dari 20% penghasilan. “Sehingga, masih bisa memiliki sisa penghasilan untuk ditabung guna membeli aset,” ujarnya.
Betul. Freddy mengatakan, generasi milenial kebanyakan tidak mau tinggal jauh-jauh dari tempat kerja mereka. Apalagi, tinggal di pinggir kota.
Mereka rela menghabiskan biaya kos atau kontrakan 30%–50% dari gaji, asalkan bisa instan untuk sampai ke tempat kerja. “Zaman ke zaman memang kebutuhan berubah, tapi seharusnya alokasi tempat tinggal maksimum 30% dari pendapatan. Itu jika membeli properti. Kalau sewa, harus setengah (15%),” ujarnya.
Beda kasus, jika ternyata generasi milenial tinggal di pinggiran kota namun ongkos ke tempat kerja lebih mahal ketimbang harus kos atau kontrak di sekitar kantor. Misalnya, biaya transportasi mencapai Rp 1,5 juta per bulan.
Kalau ada kos atau kontrak rumah bertarif Rp 1,2 juta sebulan dan tinggal jalan kaki menuju tempat kerja, sewa bisa jadi pilihan.
Lalu, utang kartu kredit berlebihan yang menimpa generasi milenial, Freddy bilang, ini akibat pengajuan kartu kredit yang gampang. “Dulu susah. Sekarang bank lebih menggenjot kartu kredit ketimbang kredit pemilikan rumah (KPR) karena bunga yang dihasilkan lebih besar,” ungkap Freddy.
Celakanya lagi, emosi generasi milenial belum stabil sehingga mudah tergoda dengan penawaran ini dan itu. Sebut saja, ada diskon di restoran sekian persen, mereka langsung termakan promosi ini.
Maklum, Budi menyebutkan, dari sisi penggunaan kartu kredit, generasi milenial sudah sangat familiar, bahkan sebelum mengenal kredit konsumsi lainnya yang lebih produktif seperti KPR.
Tambah lagi, banyak transaksi serta kemudahan yang diberikan untuk memiliki kartu kredit serta manfaat dalam hal belanja. Contoh, diskon merchants dan jika melakukan transaksi saat berlibur.
Kartu kredit juga sudah jadi bagian dari gaya hidup generasi milenial. Tapi, penggunaan duit plastik yang berlebihan untuk konsumsi dan hiburan akan membebani arus kas, yang ujungnya membuat tidak ada sisa penghasilan yang bisa disisihkan untuk ditabung.
Apalagi, untuk membangun dana darurat, Budi bilang, generasi milenial harus membutuhkan surplus arus kas. Kalau gaya hidup terlalu tinggi plus berbagai cicilan, maka bukan tidak mungkin generasi milenial tidak memiliki dana darurat yang memadai. Meski, sekadar memenuhi angka minimal tiga bulan pengeluaran bulanan.
Soal urusan percintaan, kata Freddy, memang generasi milenial terbilang boros dalam mengalokasikan dana. Pada zamannya, dia mengaku, dirinya paling hanya punya satu teman dekat.
Tapi zaman sekarang, teman dekat bisa lebih dari satu alias gonta-ganti. Dengan begitu, anggaran untuk mengajak teman dekat bengkak.
Terlebih, generasi milenial gengsi mengajak teman dekatnya makan di warteg. Kebanyakan dari mereka makan di mal atau resto mewah.
Kalau anggaran percintaan, Budi masih kurang paham. Yang jelas, milenial kerap mengunjungi tempat-tempat yang sedang populer.
Ini jadi salah satu target pengeluaran bulanan kaum milenial. Alhasil, bukan tidak mungkin, dana kebutuhan masa depan yang harusnya mereka kumpulkan secara rutin sudah dibelanjakan di tempat-tempat itu.
Selain empat kesalahan mengatur keuangan tersebut, Freddy bilang, ada dua kekeliruan lagi: gaya hidup yang berlebihan dan rasa ingin diterima di suatu kelompok.
Gaya hidup kaum milenial berbeda dengan generasi sebelumnya. Jika generasi terdahulu pulang kerja langsung ke rumah untuk istirahat, kaum milenial justru pergi ke pusat kebugaran, nongkrong dengan rekan-rekannya, dan kegiatan lain yang bikin biaya hidup makin bengkak.
Kesadaran proteksi
Keinginan bisa diterima di suatu kelompok juga membuat generasi milenial boros. “Ada teman ganti smartphone baru, ikutan ganti padahal belum perlu. Tujuan mereka hanya untuk menunjukkan ke rekannya, bisa juga beli,” sebut Freddy.
Sedang, menurut Budi, yang juga perlu jadi perhatian kalangan milenial adalah kesadaran untuk memiliki proteksi. “Banyak generasi ini yang sudah berkeluarga tapi kurang memperhatikan kecukupan proteksi, terutama kesehatan dan jiwa,” beber Budi.
Dengan banyaknya tantangan finansial yang harus dihadapi, Budi berpesan seharusnya milenial lebih hati-hati dan cermat dalam mengelola keuangan. “Memiliki investasi dan mempersiapkan diri menghadapi situasi tak terduga dengan memiliki dana darurat serta proteksi, adalah poin utama dalam menciptakan keuangan yang tahan terhadap perubahan kondisi yang sangat cepat,” tegasnya.
Yuk, segera memperbaiki kesalahan-kesalahan itu.