Gurih laba usaha warteg kekinian Peluang Usaha

Gurih laba usaha warteg kekinian

Terakhir diperbaharui: 14 November 2018

Siapa yang tidak kenal warteg alias warung tegal. Tidak hanya di Jawa, warteg sangat kondang di seluruh Indonesia. Bahkan, warteg juga ada di sejumlah negara, seperti Malaysia dan Arab Saudi.

Maklum, pengemarnya sangat banyak, dari berbagai lapisan. Selain menyajikan masakan rumahan, warteg menawarkan harga murah meriah. Cuma, warteg identik dengan masyarakat menengah bawah.

Nah belakangan, warteg naik kelas, nih. Muncul warteg dengan tampilan yang berbeda.

Warung-warung ini bersolek, menampilkan konsep tempat makan yang enggak kalah dengan restoran atau kafe. Tidak ada lagi kesan kumuh dan gerah. Julukannya: warteg modern atawa kekinian.

Tengok saja, Di Warteg yang bercokol di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Warteg yang eksis sejak 2014 lalu ini menyajikan masakan rumahan namun menawarkan tempat yang nyaman dengan penyejuk udara (AC). Jadi, asyik juga buat lokasi kongko bareng teman.

Menurut Herman Tri Handono, pemilik Di Warteg, warteg kekinian yang ia dirikan terinspirasi dari peluang pasar yang ada. Dia melihat di daerah Kemang dan sekitarnya banyak terdapat perkantoran, tapi tempat makan yang tersedia kebanyakan hanya makanan cepat saji dan warteg konvensional.

Herman pun melakukan survei ke beberapa karyawan yang bekerja di seputaran Kemang, dengan menanyakan tempat makan yang ideal. Dari jajak pendapat kecil-kecilan itu, ia mendapatkan temuan bahwa mayoritas pekerja menginginkan masakan ala warteg atau warsun alias warung sunda, tetapi menyediakan tempat makan yang bersih dan nyaman.

Tanpa pikir panjang, Herman langsung mengambil alih sebuah warung nasi yang letaknya sangat strategis, persis di pinggir Jalan Kemang Raya. Kemudian dia merombaknya dan memasukkan berbagai furnitur juga alat masak modern yang biasa ada di kafe. “Saya menyesuaikan dengan karakter pelanggan yang kebanyakan generasi milenial dan ingin tempat yang nyaman,” ujarnya.

Margin minimal 50%

Menu yang Herman sajikan di Di Warteg sama dengan warteg kebanyakan, mulai tempe orek, telur balado, soto, hingga oseng sayur. Kisaran harganya: Rp 17.000–Rp 35.000 per porsi sudah termasuk minuman.

Saat ini, saban hari pengunjung yang datang ke Di Warteg sekitar 70 sampai 100 orang. Itu belum termasuk konsumen katering yang mencapai 50 porsi sehari. Herman membeberkan, usaha ini bisa memberikan keuntungan bersih minimal 50%.

Jam operasional Di Warteg mengikuti konsumen utama mereka, yakni orang kantoran. Jadi, buka dari pukul 10 siang hingga pukul 6 sore. Sedang hari Sabtu, Minggu, dan tanggal merah, Di Warteg tutup.

Pemain lain yang ikut mencicipi gurihnya usaha warteg kekinian adalah Warteg Hipster di Bandung, Jawa Barat. Buka semenjak 2016 lalu, Warteg Hipster juga menekankan sentuhan interior dan perlengkapan masak modern. Hasilnya, pengunjung yang datang setiap hari mencapai 50 hingga 80 orang.

Selain makanan ala rumahan, di Warteg Hipster juga ada bakso cuanki, slondok, gurilem, serta camilan khas kota kembang. Ada pula mi ramen.

Yenni, pemilik Warteg Hipster, mengatakan, untuk bisa memulai usaha warteg kekinian, pemilihan lokasi memainkan peranan sangat penting. Karena itu, carilah tempat-tempat yang dekat dengan keramaian, semisal perkantoran, sekolah, rumahsakit, dan pusat perbelanjaan. “Untuk ukuran tempat, tak ada standar khusus, tapi minimal bisa menampung 10–15 orang,” kata dia.

Setelah menemukan lokasi yang tepat lagi strategis, langkah selanjutnya tentu saja membangun warteg dengan penampilan ala kafe. Di Warteg Hipster, Yenni tidak lupa menyediakan fasilitas Wi-Fi gratis. Dia juga memberikan minuman cuma-cuma: infused water, air putih, serta teh tawar.

Untuk mempercantik ruangan, Di Warteg memasang lukisan mural yang cakep buat lokasi berswafoto alias selfie untuk kemudian dibagikan melalui jejaring sosial. Sebutan populernya: instagramable. Maklum saja, kaum milenial tidak bisa lepas dari media sosial.

Karena itu, Herman menjalin kerjasama dengan beberapa pelukis untuk memamerkan lukisan karya mereka di Di Warteg. Kalau ada yang tertarik membeli, Di Warteg tidak memungut komisi sedikit pun ke para pelukis tersebut. Telah meramaikan dinding Di Warteg saja sudah cukup, kok.

Untuk lokasi, Herman bilang,  saat ini tempat yang paling cocok adalah dekat dengan pusat perkantoran. Soalnya, menu yang warteg tawarkan paling pas dinikmati siang hari. Itu bertepatan dengan jam makan siang orang kantoran.

Herman berpesan, sebaiknya memang pemilik warteg kekinian harus berani berinvestasi lebih di tempat. Ia mencontohkan, saat memulai usaha dulu, bujet untuk merenovasi tempat saja sudah mencapai Rp 100 juta. Kalau untuk bahan baku masakan, ia hanya menyiapkan sekitar Rp 3 juta.

Bahan baku segar

Jelas, warteg kekinian tidak hanya menjual tempat yang asyik. Makanan yang mereka sediakan juga mesti yang sedap-sedap.

Di Warteg, misalnya, mengolah bahan baku yang segar-segar tanpa menggunakan pengawet dan penyedap rasa sehingga makanan mereka lebih sehat. “Kami menyediakan nasi merah untuk mengakomodasi tren menu sehat rendah gula,” imbuh Herman.

Bagi Herman, dengan memakai bahan baku yang segar dirinya mampu meraih margin yang tinggi. “Makanya, saya tidak habis pikir dengan kebanyakan warteg konvensional yang masih banyak menggunakan bahan baku yang tidak segar dan kurang layak,” sebutnya.

Untuk memasarkan warteg miliknya, Herman tidak beriklan yang heboh di media sosial. Selama ini, ia hanya memanfaatkan cuitan pelanggan di Twitter atau unduhan foto di Instagram serta Facebook.

Begitu juga dengan Yenni, yang memaksimalkan jejaring sosial secara gratis. Sementara ini dia belum ada niatan menggunakan fasilitas iklan berbayar yang ada di media sosial.

Meski dalam tren yang terus tumbuh, usaha warteg kekinian tetap memiliki tantangan tersendiri. Buat Herman, tantangan bisnis ini ke depan adalah bagaimana memperluas pangsa pasar yang selama ini fokus pada karyawan kantoran.

Salah satu segmen yang dia bidik adalah kalangan milenial yang masih kuliah dan sekolah. Untuk bisa menggaet pasar ini, jelas Herman harus berbenah dan menyesuaikan diri.

Untuk menu, misalnya, bukan rahasia lagi kalau generasi milenial kebanyakan masih gandrung makanan instan. Tapi, ada dari mereka yang mulai tertarik mencicipi makanan sehat. “Kelompok inilah yang berusaha kami tarik perhatiannya dengan menyediakan berbagai menu sehat,” ujarnya.

Anda ingin jadi pengusaha warteg kekinian juga?

Reporter: Ragil Nugroho
Editor: S.S. Kurniawan
Sumber: kontan.co.id